6 Syarat Menuntut Ilmu Menurut Ulama Salaf

6 Syarat Menuntut Ilmu Menurut Ulama Salaf

6 August 2021 Artikel 0

Syair yang sangat terkenal di kalangan pondok pesantren yaitu syair Imam Asy-Syafi’i mengenai 6 Syarat Menuntut Ilmu Menurut Ulama Salaf.

Syair menuntut ilmu tersebut sebagai berikut: 

أخي لن تنال العلم إلا بستة                                      

سأنبيك عن تفصيلها ببيان

ذكاء وحرص واصطبار وبلغة                                    

وصحبة أستاذ وطول زمان

– الإمام الشافعي

Artinya: “Wahai saudaraku, ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan enam perkara. Aku akan menyebutkan perinciannya: (yaitu) kecerdasan, ambisi, sabar, modal, menyertai guru, dan belajar dalam waktu yang lama.”

  1. ذكاء  (Memiliki Kecerdasan)

Santri harus memiliki kecerdasan. Terdapat dua jenis kecerdasan, yaitu: pertama, kecerdasan berupa pemberian dari Allah tanpa belajar yang keras; dan kedua, kecerdasan yang diusahakan oleh seseorang yang gigih dalam belajar. Kedua jenis kecerdasan ini pada hakikatnya dari Allah Subhanahu Wata’ala.

Setiap manusia dibekali kecerdasan untuk mempertahankan hidupnya. Kemampuan belajar dari pengalaman yang pernah dialaminya. Apabila pengalaman ini diisi dengan bimbingan, pengajaran, pendidikan, pengembangan diri yang disesuaikan dengan usia dan daya nalarnya, maka akan berkembang menjadi manusia yang cerdas dan berguna bagi umat manusia.

Kecerdasan diperlukan untuk mengatasi berbagai macam masalah. Hal ini lumrah dimiliki oleh manusia. Setiap orang memiliki kadar yang bermacam-macam dalam memahami suatu ilmu pengetahuan.

Ada orang yang dimampukan oleh Allah untuk menangkap pemahaman dalam sekali belajar, dan ada pula yang memerlukan usaha berulang-ulang agar pelajaran itu dapat dipahaminya.

Ada orang yang belajar melalui membaca, menyimak, memperagakan dan perpaduan diantaranya. Meskipun begitu, kecerdasan bukanlah satu-satunya syarat agar mampu menguasai ilmu pengetahuan.

Ada beberapa faktor lagi yang dapat dioptimalkan agar memperoleh keberhasilan dalam belajar.

  1. حرص  (Memiliki Kekuatan Tekad)

Santri harus memiliki kekuatan tekad atau ambisi untuk mencari ilmu. Antusias dengan tekad yang tinggi dalam menyimak, membaca, dan mempraktikkan materi pelajar diperlukan agar mampu merekam ilmu dalam ingatan dan pengamalan.

Seseorang yang dibekali titipan uang untuk diberikan kepada seseorang maka ia akan mengecek berkali-kali khawatir uang itu ketinggalan atau hilang.

Kesungguhan dalam menjaga hafalan, pemahaman diperlukan oleh setiap santri agar memperoleh keberhasilan dalam belajar.

Upaya santri dalam belajar ulumusyar’i dan hafalan Al-Quran akan terus bersungguh-sungguh dalam menjaganya. Keinginan kuat terhadap ilmu hendaknya harus lebih kuat dibandingkan keinginan terhadap harta benda.

Ilmu memiliki berbagai keutamaan yang tidak dimiliki oleh harta benda. Ilmu dapat menghasilkan harta benda, akan tetapi harta benda belum tentu dapat menghasilkan ilmu apabila tidak belajar.

Banyak rintangan dalam mencari ilmu, namun dengan tekad yang kuat maka godaan apa pun selama proses belajar tidak akan berarti apa-apa. Seorang yang belajar dengan tekad yang kuat akan berhasil memperoleh kesuksesan dalam belajar.

Orang yang bersungguh-sungguh akan mampu mengerahkan segenap kekuatan serta potensi kemampuan untuk meraih suatu tujuan. Kesungguhan ini harus dilakukan secara konsisten.

Terus menerus dan tidak menyerah sampai suatu bab bisa dipahami maka beranjak pada bab-bab selanjutnya. Apabila ada bab tertentu yang kurang dipahami maka dengan kesungguhan belajar pasti akan bisa juga.

Apabila terjadi kesulitan maka akan berusaha mencari orang yang bisa membantu agar suatu bab dari ilmu itu bisa dipahami dengan baik.

  1. اصطبار  (Memiliki Kesabaran)

Memiliki kesabaran selama proses belajar. Belajar itu awalnya tidak enak, mungkin akan mengalami beberapa kesulitan. Seorang penulis dari Barat bernama Josh Kaufman mengatakan bahwa, “Kesulitan seseorang dalam belajar hanya akan dialami selama 20 jam belajar pertama, adapun selanjutnya maka akan terjadi kemudahan.”

Apabila kita belajar dengan tekun selama 20 jam untuk memahami suatu ilmu pengetahuan maka setelah itu akan terjadi beberapa kemudahan.

Banyak orang yang tidak sabar saat belajar, mereka mengatakan ini sulit, ini tidak bisa dan akhirnya menyerah.

Padahal apabila kurang lebih proses awal 20 jam belajar itu dilakukan dengan kesabaran maka selanjutnya akan terjadi kemudahan-kemudahan. Inilah sunnatullah yang terjadi dalam proses mempelajari ilmu pengetahuan maupun skill.

Apabila suatu pohon mangga ingin berbuah, maka tidak bisa ditanam langsung dapat dipetik. Proses dari awal mula menanam kemudian beberapa bulan kemudian tumbuh tunas, kemudian disiram, dirawat dengan baik maka setelah 5 tahun sudah dapat menghasilkan buah mangga yang berkualitas.

  1. بلغة   (Memiliki Bekal)

Bekal biaya atau pun bekal bahan makanan untuk belajar mutlak diperlukan. Ulama terdahulu sangat tidak suka menggantungkan hidup pada orang lain. Oleh karena itu, dalam belajar disyaratkan untuk memiliki bekal yang akan dihabiskan selama proses belajar. Sesuai dengan namanya yaitu بلغ artinya ‘sampai’. Bahwa bekal tersebut akan dihabiskan selama proses pendidikan.

Bekal yang dibawa hendaknya berasal dari harta benda yang paling halal. Tidak tercampur dengan harta yang subhat apalagi haram. Keberkahan ilmu akan dirasakan apabila makanan dan minuman juga pakaian yang dikenakannya semuanya halal.

Makna dari bekal bukan saja uang, melainkan buku, alat tulis, pakaian, dan semua yang digunakan selama proses belajar. Seperti layaknya anak yang masuk ke pondok pesantren pastilah orang tuanya memberikan berbagai macam perbekalan yang akan berguna saat di tempat belajar.

  1. صحبة أستاذ  (Ditemani Guru)

Belajar ilmu agama Islam tidak bisa dilakukan dengan otodidak. Harus ditemani oleh guru agar tidak salah interpretasi (memaknai) suatu ilmu pengetahuan. Bimbingan, motivasi, pengasuhan, pengarahan, akan diperoleh murid dalam belajar. Belajar bersama guru akan memudahkan proses pembelajar.

Guru mengetahui potensi belajar murid-muridnya. Guru memiliki berbagai macam cara agar muridnya mampu belajar sesuai dengan batas kemampuan dan perkembangan usianya.

Guru mengetahui pelajaran apa yang harus diprioritaskan agar mampu menjadi tangga-tangga untuk meraih bidang keilmuan lainnya.

Apabila ada hal yang belum dimengerti maka murid harus bertanya pada guru. Ada guru yang bisa menjelaskan kerumitan suatu bidang mata pelajaran. Bertanya pada guru tentu memiliki keutamaan dan keberkahan.

Selain itu, berguru dalam bidang agama Islam akan menjamin tersambungnya sanad keilmuan dari guru-guru serta ulama-ulama sebelumnya yang sampai pada sumber awalnya yakni dari Nabi Muhammad Shalallahu ‘Alaihi Wasallam.

  1. طول زمان  (Belajar Sepanjang Zaman)

Belajar sepanjang zaman, selama masih hidup maka belajarlah.

Agar memperoleh ilmu pengetahuan yang mumpuni maka diperlukan waktu yang lama dalam belajar. Terus menerus dan dalam waktu yang lama bisa disebut juga sebagai belajar intensif. Apabila proses pendidikan berjalan panjang, namun intensitas belajarnya kurang maka hal ini tidak termasuk طول زمان.

Oleh karena itu, hal ini memerlukan keseriusan untuk memanfaatkan seluruh waktu belajar untuk belajar. Seluruh waktu tidak boleh ada yang sia-sia. Kalaupun ada waktu santai atau istirahat maka hal ini pun harus berdampak pada efektivitas belajar.

Tidak masalah ada waktu jeda istirahat, selama proses istirahat tersebut mendukung konsentrasi belajar pelajaran berikutnya.

Proses menghafal Al-Quran sebulan dengan target 30 juz merupakan waktu yang panjang. Bagaimana setiap hari peserta santri karantina tahfizh Al-Quran belajar selama durasi 10-12 jam.

Mulai bangun pagi pukul 03:00 dilanjutkan Qiyamul Lail dan persiapan menghafal sampai subuh. Setelah subuh belajar lagi sampai jam 07.00 WIB. Ada waktu jeda istirahat antara pukul 07.00 sampai dengan 08.00 WIB.

Selanjutnya belajar lagi sampai jam 11.00 WIB. Lalu istirahat tidur siang pukul 11.00 sampai dengan 12.00 WIB. Dilanjutkan Shalat Dzuhur dan makan siang sampai pukul 13.00 WIB.

Selanjutnya belajar lagi sampai pukul 17.00 WIB, dan hanya terpotong jeda waktu Shalat Ashar. Pukul 17.00 sampai Maghrib waktunya mandi, makan dan persiapan Shalat Maghrib.

Selanjutnya belajar lagi ba’da Maghrib sampai pukul 21.00 WIB. Selanjutnya tidur malam sampai bangun kembali pada hari berikutnya pukul 03.00 WIB.

Setelah mengalami pembelajaran di Yayasan Karantina Tahfizh Al-Quran Nasional maka peserta telah memiliki pola waktu menghafal Al-Quran.

Apabila sudah diketahui pola belajarnya maka proses menghafal Al-Quran dapat dilakukan dalam kehidupan sehari-hari dengan lebih mudah Insya Allah, karena melanjutkan pola yang sudah terbentuk.

Mencari ilmu tidak bisa diperoleh dengan cara yang singkat. Perlu waktu belajar yang panjang dan hal ini bisa dimulai dengan mengikuti program Karantina Hafal Quran Sebulan agar bisa secepatnya khataman hafalan Al-Quran 30 juz per satu halaman.

Apabila sudah khatam maka target berikutnya khatam mutqin seminggu satu juz dengan cara yang sudah dibahas pada artikel sebelumnya.

6 syarat menuntut ilmu menurut ulama salaf, tersebut di atas harus dilakukan saat mencari ilmu dan berharap ilmu tersebut bisa bermanfaat di dunia maupun akhirat.

Yadi Iryadi, S.Pd.
Founder Metode Yadain Litahfizhil Quran
Dewan Pembina Yayasan Karantina Tahfizh Al-Quran Nasional

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

HTML Snippets Powered By : XYZScripts.com