20 Jam Pertama Cara untuk Mempelajari Apa pun
Table of Contents
Kali ini penulis mencoba meresensi sebuah buku “The First 20 Hours : How to Learn Anything Fast” yang merupakan sebuah buku populer sejak tahun 2013, ditulis oleh Josh Kaufman. Seolah melawan pandangan umum, bahwa buku ini membahas mengenai cara mempelajari skill-skill dengan cepat. Entah dalam bidang kemampuan bermain alat musik, olah raga, matematika, fisika, melukis, bernyanyi, kemampuan berbahasa asing, pemrograman komputer, dan skill lainnya. Penulis mencoba mengaplikasikan kaidah buku ini pada hafalan Al-Qur’an. Mengenai bagaimana banyak peserta karantina tahfizh yang mampu menghafal Al-Qur’an 30 juz selama sebulan setoran hafalan perdana per halaman.
Setelah mengetahui hal ini, keyakinan bahwa talenta, bakat, atau hobi itu ternyata dapat didesain dan dipelajari sehingga siapa pun bisa melakukannya setelah 20 jam pertama. Kesulitan-kesulitan dalam belajar tersebut hanya terjadi di awal saja. Adapun setelah melewati 20 jam maka tahapan berikutnya hanya pengulangan dari materi 20 jam. Pada program karantina tahfizh Al-Qur’an Nasional program hafal Quran Sebulan biasanya peserta merasakan kesulitan saat menghafal ayat baru. Namun setelah melewati 20 jam perdana dengan mempraktikkan metode Yadain Litahfizhil Qur’an maka berikutnya terbuka kemudahan, atas izin Allah Subhanahu Wata’ala.
Josh Kaufman sang penulis buku tersebut awalnya ingin menguasai beberapa kemampuan. Josh melakukan riset sederhana mengenai cara membangun sebuah kemampuan. Ia kemudian menemukan sebuah gagasan dari buku bertema Kaidah 10.000 Jam (The 10,000 hours rule) yang ada pada buku The Outliers karya Malcolm Gladwell seorang penulis di majalah The New Yorker.
Kaidah 10.000 jam berdasarkan hasil penelitian seorang psikolog Swedia bernama Anders Ericsson. Kaidah itu singkatnya mengatakan bahwa diperlukan sekitar 10.000 jam berlatih secara terus-menerus untuk dapat melakukan kemampuan yang kita bangun untuk bisa sampai pada level ahli.
Pada buku lain seperti The Outliers, penulis mengambil contoh Bill Gates yang sudah sejak usia dini mempelajari pemrograman maka pada usia remaja ia sudah mampu menghasilkan program komputer yang berkualitas hingga berakhir dengan berdirinya perusahaan Microsoft miliknya. Begitu pula apabila penulis mengamati bahwa para penghafal Al-Qur’an yang hafalannya siap disimak dengan baik dan benar, rata-rata mereka telah melewati fase belajar selama lebih dari 10.000 jam belajar.
Josh merasa heran bahwa begitu panjang waktu yang diperlukan seseorang untuk menguasai sebuah skill sampai expert level dunia. Kemudian ia menyadari bahwa ia hanya ingin menguasai beberapa skill saja untuk sekedar mampu melakukannya secara pribadi. Ia kemudian melaksanakan riset sampai berkesimpulan untuk menciptakan metode 20 jam. Metode ini ingin agar pembaca mengetahui aspek apa dari skill yang ingin dilatih. Dengan metode 20 jam juga, apabila dilakukan dan dilatih terus maka dapat menembus pada tingkat 10.000 jam yang berarti pula tata cara ini dapat bawa kita jadi seseorang expert.
Kenyataannya banyak riset pada aspek ilmu jiwa mengenai pengembangan diri untuk membuat keahlian-keahlian. Tidak hanya buatan Josh ini serta Kaidah 10. 000 jam, terdapat juga novel Mastery buatan Robert Greene yang membahas mengenai para figur besar bumi membuat keahlian mereka hingga pada tingkat expert.
Terdapat juga novel Pola pikir: The New Psychology of Success buatan Carol Dweck yang melaporkan kalau kita dapat mempunyai keahlian apapun, yang membatasi diri kita hanyalah pola pikir. Pola pikir yang mengatakan,“ ah aku tidak berbakat” ataupun“ itu bukan keahlian saya”. Itu merupakan pola pikir yang salah, sebab sesungguhnya kita pasti bisa jika menginginkan hingga mempunyai keahlian apa pun apalagi hingga pada tingkat expert.
Josh Kaufman mengatakan bahwa lebih baik membangun skill baru menggunakan sisa waktu setelah bekerja maupun kuliah tentu akan lebih baik. Terutama apabila dibandingkan dengan bermedia-sosial atau menonton sinetron yang tidak manfaat. Membangun skill baru tentu akan lebih berguna.
Berikut ini cara sederhana membangun skill baru pada Tahfizh Al-Qur’an dalam buku The First 20 Hours, ada 4 langkah, yaitu:
Kontruksi Ulang Komponen Skill (Deconstruct The Skill)
Setiap kemampuan itu seperti piramida yang disusun dari batu fondasi menumpuk terus sampai ke puncak. Begitu juga dengan skill. Semua skill selalu memiliki hal dasar seperti Teori Dasar, Kemampuan Dasar, Teknik Dasar, Prinsip Fundamental, dan sebagainya. Intinya adalah semua yang menjadi dasar dari skill tersebut harus diketahui terlebih dahulu. Kemudian cari tahu tahapan skill tersebut. Misalnya, setelah menguasai Teori/Teknik dasar selanjutnya adalah teknik menengah sampai akhirnya pada teknik advance yang lebih rumit.
Josh Kaufman mencontohkan belajar menguasai instrumen drum dan mempelajari matematika. Sedangkan pada artikel resensi ini penulis mencoba mengaplikasikannya pada skill tahfizh Al-Qur’an.
a. Mencari tahu informasi tentang dasar-dasar Tahfizh Al-Qur’an yang selanjutnya dibuat susunan tahapan latihan belajar pada tahap 2. Materi yang harus diketahui di awal yaitu:
- Mencari tahu apa itu Al-Qur’an dan kegunaannya.
- Mencari tahu bagian-bagian terkait dengan Al-Qur’an.
- Mencari tahu tentang teori dasar Ulumul Al-Qur’an.
- Mencari tahu tentang teknik dasar membaca Al-Qur’an.
- Mencari tahu tahapan kemampuan apa saja yang diperlukan agar mampu menghafal Al-Qur’an dengan baik dan benar.
b. Setelah mendapat informasi dari tahap a, maka tahap b ini adalah menyusun tahapan skill Tahfizh Al-Qur’an yang harus dikuasai dari dasar sampai level advance, yaitu:
- Menguasai pengucapan huruf Hijaiyah dan tanda baca Al-Qur’an
- Menguasai teknik membaca Al-Qur’an dengan benar sesuai tajwid
- Menguasai keilmuan-keilmuan yang diperlukan agar mampu membaca dan menghafal Al-Qur’an dengan lancar
- Mengetahui perbedaan bacaan yang benar maupun salah saat membaca dan menghafal Al-Qur’an
- Mengerti dan menguasai praktik/metode menghafal Al-Qur’an dan muraja’ah.
Pada langkah pertama ini yang dilakukan yaitu riset mengenai apa itu skill yang mau dipelajari, misalnya: sejarah, kegunaan, teori/konsep, dan teknik dasarnya. Kemudian yang paling penting yaitu mengetahui tahapan-tahapan belajar untuk menguasai skill tersebut.
Belajar untuk Mengoreksi Sendiri
Intinya pada langkah kedua ini adalah setelah kita mendapat informasi yang kita butuhkan seperti pada langkah pertama, kita harus mencari sumber referensi lainnya untuk meneguhkan teori atau pengetahuan kita tentang skill yang sedang kita pelajari.
Misalnya belajar Tahfizh Al-Qur’an, saat mempelajari teknik menghafal Al-Qur’an harus mendapatkan teori atau pengetahuan mengenai beberapa sumber yang berbeda, misalnya dari situs – situs yang berbeda, dari buku, atau dari video – video tutorial di Youtube.
Dari sumber yang beragam itu kita biasanya akan mendapat pengetahuan dengan materi yang kurang lebih sama namun hanya beda cara penyampaiannya. Maksud dari langkah ini supaya kita memperoleh pengetahuan yang valid secara universal, bukan sekedar asumsi pribadi kita saja. Pengetahuan yang berdasar pada asumsi belaka itu biasanya ada pada mereka yang belajar otodidak namun malas mencari pengetahuan yang benar, akhirnya mereka sulit berkembang. Apabila belajar secara langsung dibimbing oleh guru yang siap mendampingi selama 20 jam belajar tentu akan lebih efektif lagi karena guru memiliki kemampuan yang sudah mumpuni di bidangnya sehingga mengerti tahapan apa saja yang harus dipelajari oleh muridnya.
Menghilangkan Gangguan Belajar
Kita harus bersungguh-sungguh komitmen meluangkan waktu belajar untuk menguasai kemampuan baru yang diinginkan. Hilangkan semua penghalang dan pengalih fokus seperti matikan televisi, jauhkan dan handphone harus dalam keadaan silence, berlatih di ruangan yang sepi supaya mudah fokus. Hal ini juga dilakukan oleh Rasulullah untuk berujlah atau bertahanuts di Gua Hira. Tujuannya agar fokus tanpa penghalang dan pengalih perhatian, begitulah inti pada bagian ini, yaitu hilangkan semua penghalang dan pengalih supaya bisa fokus belajar/berlatih.
Mempraktikkan Belajar atau Deliberate Practice
Tahapan ini Josh Kaufman memberikan istilah Deliberate Practice, yaitu berlatih dengan sengaja menetapkan tujuan dari latihan dan menentukan jumlah waktu berlatih secara disiplin. Waktu latihan tidak perlu berjam-jam namun tidak konsisten setiap hari. Lebih baik apabila latihan 1 sampai 2 jam sehari dan istikamah .
Contoh deliberate practice pada tahfizh Al-Qur’an, misalnya tahapan latihan kita sudah sampai pada “Mengerti keutamaan menghafal Al-Qur’an dan mampu membaca Al-Qur’an sesuai Tajwid”. Maka, tetapkan waktu latihan menghafal harian misalnya 2 jam per hari untuk menghafal 1 halaman Al-Qur’an. Setelah terakumulasi 20 jam maka akan terbuka kemudahan dalam melakukannya. Terapkan metode Deliberate Practice ini pada setiap tahapan latihan yang kita buat di langkah pertama (Deconstruct The Skill). Dengan berlatih secara konsisten maka pada 20 jam pertama latihan kita, kita bisa melihat hasilnya.
Latihan praktik pada 4 langkah tersebut dapat diaplikasikan untuk mempelajari banyak skill. Jika kita mengerti maksud dari ke 4 langkah di atas maka kita mengetahui bahwa 4 langkah tersebut hanyalah cara untuk memanajemen belajar supaya lebih terarah dan terfokus hingga akhirnya bisa mencapai hasil yang ditetapkan. Dengan metode ini semoga para pembaca dapat memiliki keahlian-keahlian yang diperlukan untuk menjalani kehidupan.
Yadi Iryadi, S.Pd
Dewan Pembina Yayasan Karantina Tahfizh Al-Qur’an Nasional
Founder Metode Yadain Litahfizhil Qur’an
Buku bacaan:
Kaufman, Josh. 2013. The First 20 Hours How to Learn Anything Fast. London: Penguin Group
